Temen-temen sekedar menginformasikan bahwa malam ini tepatnya pukul 19:00 wib bagian PIA mengadakan diskusi bulanan, tepatnaya di wisma ikarus tercinta, dan untuk temen-temen jangan sampai nggak' hadir loh, soalnya pemateri di diskusi ini, wehh.. seorang aktivis gender yang tidak perlu lagi kita ragukan kapabilitasnya, dan calon sarjana pulakk.. jangan lupa ya....?? jam 19:00 MALEM INI.
Dan untuk persiapanya kami lampirkan makalah yang akan di sampaikan:
Dan untuk persiapanya kami lampirkan makalah yang akan di sampaikan:
Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Mewujudkan
Keluarga Sakinah[1]
oleh
: Saidina Ali Hasibuan
Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah. Pengertian tersebut di ambil
dari Al-Qur’an Surat Ar-Rūm (30): 21 dan senada juga dengan pengertian yang
diberikan oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan juga dapat
diartikan penyatuan dua kelompok keluarga besar (kelompok keluarga suami dan
kelompok keluarga istri).[2]
Dalam proses mewujudkan keluarga sakinah sudah pasti tidak akan lepas dari
persoalan-persoalan, sehingga unsur-unsur yang ada di dalamnya dituntut untuk
menyikapi segala persoalan yang ada dengan baik. Persoalan yang terjadi dalam
keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan
dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada kesetaraan. Pemahaman tentang subyek-obyek,
dominan-tidak dominan, superior-inferior serta pembagian peran-peran yang tidak
seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan
(ibu, anak perempuan).
Kehadiran
Islam yang dibawa Nabi membawa perubahan yang cukup mendasar berkaitan dengan
harkat dan kedudukan perempuan. Secara perlahan perempuan mendapat tempat
yang terhormat, sampai akhirnya berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan
terkikis dari akar budayanya.[3]
Islam diturunkan untuk mengatasi setiap problema kehidupan manusia, baik
laki-laki maupun perempuan. Islam memandang perempuan sama dengan laki-laki
dari segi kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Islam
memberi hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki dan
membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali beberapa hal yang khas
bagi perempuan atau bagi laki-laki karena adanya dalil syara’.[4]
Al-Qur’an menempatkan perempuan
pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Hal kemitrasejajaran ini dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa poin 1. Statemen umum tentang kesetaraan
perempuan dan laki-laki, 2. Kesetaraan asal-usul, 3. Kedudukan manusia dalam
beramal, 4. Hak saling kasih dan mencintai, 5. Hak mendapatkan keadilan dan
persamaan, 6. Hak mendapat jaminan sosial, 7. Hak dalam hal saling tolong
menolong, 8. Hak mendapatkan kesempatan pendidikan.[5]
Islam memandang laki-laki dan
perempuan dengan posisi yang sederajat dan setara. Di dalam Al-Qur’an tidak ada
satupun ayat yang menyatakan bahwa sebagai umat manusia laki-laki lebih unggul
dan mulia daripada perempuan, akan tetapi banyak ayat Al-Qur’an yang
menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang
disebutkan dalam Surat Al-Ḥujurāt (49): 13,
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Nabi
Muhammad SAW sebagai suri tauladan mengajarkan banyak hal tentang keluarga,
sebagai contoh tauladannya; beliau menjadikan anggota keluarganya sebagai
partner yang setara, dan di saat beliau dapat melakukan tugas-tugas keluarga
maka beliau melakukannya sendiri, atau dengan kata lain beliau tidak pernah
membebankan sesuatu kepada istri atau anak-anaknya. Nabi Muhammad juga
memandang bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama di ranah publik
maupun domestik.
Keluarga Sakinah dan Kesetaraan
Quraish
Shihab menyatakan bahwa kata sakinah berarti ketenangan, atau antonim
kegoncangan, ketenangan disini ialah ketenangan yang dinamis, dalam setiap
rumah tangga ada saat dimana terjadi gejolak, namun dapat segera tertanggulangi
dan akan melahirkan sakinah. Sedangkan pendapat Hamim Ilyas bahwa keluarga sakinah dimaknai sebagai
keluarga yang harmonis. Kesakinahan keluarga itu berdasarkan mawaddah warahmah. Kata mawaddah diartikan
dengan cinta, yang mana cinta tersebut menginginkan kebaikan, sehingga keluarga
sakinah adalah keluarga yang menginginkan kebaikan pada pasangan dan memberikan
kebaikan pada pasangannya. Keluarga sakinah yang ideal itu adalah yang sesuai
dengan perkembangan masyarakat.
Islam mempolakan hubungan di dalam
keluarga sebagai hubungan zaujiyah, yakni hubungan kesepasangan dan
kesetaraan yang satu sama lain, saling melengkapi dan saling menguatkan
dilaksanakan secara makruf tanpa ada keinginan untuk mendominasi atau merasa
lebih penting atas pihak yang lain. Pola hubungan keluarga yang sejajar ini
diisyarakatkan dalam beberapa tempat kitab suci Al-Qur’an, misal dalam firman
Allah SWT:
Perempuan dan laki-laki diinginkan Allah bekerjasama dalam melaksanakan amar
ma’ruf nahyi munkar sebagai tanggung jawab mereka dalam membina kehidupan,
ditengah-tengah keluarga dan masyarakat. Kewajiban ini bukan berarti perempuan
dan laki-laki harus dalam kedudukan yang sama, atau jabatan
yang serupa. Jabatan dan kedudukan perempuan dalam hal ini
tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan laki-laki. Perempuan
melaksanakan kewajibannya disesuaikan dengan dunianya.
Konstruksi sosial mengenai tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga
hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik adalah
tanggung jawab ibu/istri yang terjadi selama ini adalah salah. Persepsi
seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di
sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap
ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada
suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan
pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak
ibu/istri. Kesetaraan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara
laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada
peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan
saja.
Keutamaan seorang laki-laki yang
dimaksudkan dalam QS. An-Nisā’ (4): 34 tentang Ar Rijālu Qawwāmūna
‘Alannisā’ tidak berarti bahwa pemimpin rumah tangga itu mutlak dipegang
oleh laki-laki, keutamaan tersebut diberikan karena laki-laki dibebankan untuk
menafkahi istri dan anaknya. Keutamaan yang diberikan Allah pada ayat tersebut
tidak berarti bahwa laki-laki lebih unggul, dengan kata lain laki-laki dan
perempuan itu setara.
Kesetaraan merupakan
salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat,
bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya
diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada
hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan
hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa
peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya
hal di luar itu menjadi tidak penting.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas jelas sekali bahwa hubungan yang setara antara laki-laki dan
perempuan merupakan semangat Islam. Dengan adanya kesetaraan dapat menghindari
terjadinya pengingkaran terhadap hak dan kewajiban seseorang. Begitu pula jika
kita tarik kesetaraan ini ke dalam persoalan keluarga, maka setiap anggota
keluarga (laki-laki maupun perempuan) dapat menjalankan fungsi dan perannya
secara baik. Kondisi yang baik seperti ini tentunya kesakinahan sebuah keluarga
mudah dicapai.
[1] Disampaikan dalam Diskusi Bulanan
IKARUS Yogyakarta periode 2012-2013, yang di laksanakan oleh Bidang
Pengembangan Intelektual Anggota (PIA), tanggal 5 Mei 2013.
[2] Khoiruddin Nasution, Hukum
Perkawinan 1 (Yogyakarta: ACAdeMIA, TAZZAFA, 2004), hlm. 19.
[3] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih
bahasa Farid Wajidi dan Cici Assegaf (Bandung: LSPPA dan CUSO Indonesia, 1994),
hlm. 28-29.
[4] Ahmad Zahro Al-Hasany, “Islam dan Perempuan (Diskursus
Islam, Pemikiran RA. Kartini dan Feminisme)”, dalam Mansour Fakih dkk.,
Membincangkan Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. ke-2
(Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 256.
[5] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Wanita
(Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2002), hlm. 22.
[6] Al-Baqarah (2)
: 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar