Selamat Datang di Blog Resmi IKARUS Yogyakarta

Menu

Minggu, 05 Mei 2013

DISKUSI PIA



Temen-temen sekedar menginformasikan bahwa malam ini tepatnya pukul 19:00 wib bagian PIA mengadakan diskusi bulanan, tepatnaya di wisma ikarus tercinta, dan untuk temen-temen jangan sampai nggak' hadir loh, soalnya pemateri di diskusi ini, wehh.. seorang aktivis gender yang tidak perlu lagi kita ragukan kapabilitasnya, dan calon sarjana pulakk.. jangan lupa ya....?? jam 19:00 MALEM INI.
Dan untuk persiapanya kami lampirkan makalah yang akan di sampaikan:

Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah[1]
oleh : Saidina Ali Hasibuan


Pendahuluan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah. Pengertian tersebut di ambil dari Al-Qur’an Surat Ar-Rūm (30): 21 dan senada juga dengan pengertian yang diberikan oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan juga dapat diartikan penyatuan dua kelompok keluarga besar (kelompok keluarga suami dan kelompok keluarga istri).[2] Dalam proses mewujudkan keluarga sakinah sudah pasti tidak akan lepas dari persoalan-persoalan, sehingga unsur-unsur yang ada di dalamnya dituntut untuk
menyikapi segala persoalan yang ada dengan baik. Persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada kesetaraan. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-inferior serta pembagian peran-peran yang tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan).
Kehadiran Islam yang dibawa Nabi membawa perubahan yang cukup mendasar berkaitan dengan harkat dan kedudukan perempuan. Secara perlahan perempuan mendapat tempat yang terhormat, sampai akhirnya berbagai bentuk penindasan terhadap perempuan terkikis dari akar budayanya.[3] Islam diturunkan untuk mengatasi setiap problema kehidupan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Islam memandang perempuan sama dengan laki-laki dari segi kemanusiaannya. Perempuan adalah manusia sebagaimana laki-laki. Islam memberi hak-hak kepada perempuan seperti yang diberikan kepada laki-laki dan membebankan kewajiban yang sama kepada keduanya, kecuali beberapa hal yang khas bagi perempuan atau bagi laki-laki karena adanya dalil syara’.[4]
Al-Qur’an menempatkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Hal kemitrasejajaran ini dapat dikelompokkan ke dalam beberapa poin 1. Statemen umum tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki, 2. Kesetaraan asal-usul, 3. Kedudukan manusia dalam beramal, 4. Hak saling kasih dan mencintai, 5. Hak mendapatkan keadilan dan persamaan, 6. Hak mendapat jaminan sosial, 7. Hak dalam hal saling tolong menolong, 8. Hak mendapatkan kesempatan pendidikan.[5]
Islam memandang laki-laki dan perempuan dengan posisi yang sederajat dan setara. Di dalam Al-Qur’an tidak ada satupun ayat yang menyatakan bahwa sebagai umat manusia laki-laki lebih unggul dan mulia daripada perempuan, akan tetapi banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Al-Ḥujurāt (49): 13,
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
            Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan mengajarkan banyak hal tentang keluarga, sebagai contoh tauladannya; beliau menjadikan anggota keluarganya sebagai partner yang setara, dan di saat beliau dapat melakukan tugas-tugas keluarga maka beliau melakukannya sendiri, atau dengan kata lain beliau tidak pernah membebankan sesuatu kepada istri atau anak-anaknya. Nabi Muhammad juga memandang bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama di ranah publik maupun domestik.

Keluarga Sakinah dan Kesetaraan
Quraish Shihab menyatakan bahwa kata sakinah berarti ketenangan, atau antonim kegoncangan, ketenangan disini ialah ketenangan yang dinamis, dalam setiap rumah tangga ada saat dimana terjadi gejolak, namun dapat segera tertanggulangi dan akan melahirkan sakinah. Sedangkan pendapat Hamim Ilyas bahwa keluarga sakinah dimaknai sebagai keluarga yang harmonis. Kesakinahan keluarga itu berdasarkan mawaddah warahmah. Kata mawaddah diartikan dengan cinta, yang mana cinta tersebut menginginkan kebaikan, sehingga keluarga sakinah adalah keluarga yang menginginkan kebaikan pada pasangan dan memberikan kebaikan pada pasangannya. Keluarga sakinah yang ideal itu adalah yang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Islam mempolakan hubungan di dalam keluarga sebagai hubungan zaujiyah, yakni hubungan kesepasangan dan kesetaraan yang satu sama lain, saling melengkapi dan saling menguatkan dilaksanakan secara makruf tanpa ada keinginan untuk mendominasi atau merasa lebih penting atas pihak yang lain. Pola hubungan keluarga yang sejajar ini diisyarakatkan dalam beberapa tempat kitab suci Al-Qur’an, misal dalam firman Allah SWT:
..`d ¨$69 N39 NFR&r ¨$69 `g9 ..[6]
Perempuan dan laki-laki diinginkan Allah bekerjasama dalam melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar sebagai tanggung jawab mereka dalam membina kehidupan, ditengah-tengah keluarga dan masyarakat. Kewajiban ini bukan berarti perempuan dan laki-laki harus dalam kedudukan yang sama, atau jabatan yang serupa. Jabatan dan kedudukan perempuan dalam hal ini tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan laki-laki. Perempuan melaksanakan kewajibannya disesuaikan dengan dunianya.
Konstruksi sosial mengenai tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik adalah tanggung jawab ibu/istri yang terjadi selama ini adalah salah. Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Keutamaan seorang laki-laki yang dimaksudkan dalam QS. An-Nisā’ (4): 34 tentang Ar Rijālu Qawwāmūna ‘Alannisā’ tidak berarti bahwa pemimpin rumah tangga itu mutlak dipegang oleh laki-laki, keutamaan tersebut diberikan karena laki-laki dibebankan untuk menafkahi istri dan anaknya. Keutamaan yang diberikan Allah pada ayat tersebut tidak berarti bahwa laki-laki lebih unggul, dengan kata lain laki-laki dan perempuan itu setara.
Kesetaraan merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya. Sayangnya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.  Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.

Kesimpulan
            Dari penjelasan di atas jelas sekali bahwa hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan merupakan semangat Islam. Dengan adanya kesetaraan dapat menghindari terjadinya pengingkaran terhadap hak dan kewajiban seseorang. Begitu pula jika kita tarik kesetaraan ini ke dalam persoalan keluarga, maka setiap anggota keluarga (laki-laki maupun perempuan) dapat menjalankan fungsi dan perannya secara baik. Kondisi yang baik seperti ini tentunya kesakinahan sebuah keluarga mudah dicapai.



[1] Disampaikan dalam Diskusi Bulanan IKARUS Yogyakarta periode 2012-2013, yang di laksanakan oleh Bidang Pengembangan Intelektual Anggota (PIA), tanggal 5 Mei 2013.
[2] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (Yogyakarta: ACAdeMIA, TAZZAFA, 2004), hlm. 19.
[3] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Assegaf (Bandung: LSPPA dan CUSO Indonesia, 1994), hlm. 28-29.
[4] Ahmad Zahro Al-Hasany, “Islam dan Perempuan (Diskursus Islam, Pemikiran RA. Kartini dan Feminisme)”, dalam Mansour Fakih dkk., Membincangkan Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. ke-2 (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 256.
[5] Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Wanita (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2002), hlm. 22.
[6] Al-Baqarah (2) : 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar